Disebut Polisi Cepek atau Pak Ogah mungkin dulu kita memberi imbalan cepek (seratus rupiah) setiap
kita melewati mereka, kalau sekarang mungkin tidak cepek lagi ya, bisa
gopek (lima ratus rupiah) atau seceng (seribu rupiah).
Bagi kita pengguna jalan, kehadiran mereka mungkin bisa menjadi sebuah pro dan kontra.
Bila saat itu kita tidak membutuhkan jasa mereka, tentu melihatnya menjadi sebuah gangguan, karena ulah mereka jalanan malah menjadi macet. Tetapi, bila kita
sedang ingin belok atau berbalik arah, tentunya kehadiran mereka pasti
dianggap membantu, seakan punya nyawa lebih dari 1, mereka dengan berani
menghadang mobil yang sedang jalan dan memberi kita kesempatan untuk belok. Melihat
karakter pengguna jalan di Kota Besar, jarang pengemudi yang rela
memberi kesempatan untuk mobil lain menghalangi jalan mereka walaupun
hanya untuk sekedar berbalik arah atau berbelok. Sehingga kehadiran Pak
Ogah ini dianggap sangat membantu, dan sebagai rasa terima kasih kita
pun dengan rela memberi imbalan.
Ketika terjadi suatu
kemacetan, idealnya ada Polisi Lalu Lintas yang mengatur dan mengurai
kemacetan tersebut, tetapi kenyataannya sering kali yang kita temukan
malahan polisi tak berseragam inilah yang mengatur jalan. Karena
alasan diataslah, maka profesi ini tetap ada sampai sekarang.
Di Negara-negara lain
mungkin profesi ini tidaklah bakal kita temui, tetapi mengapa di Jakarta
atau kota-kota besar bisa begitu banyak ? Semua kembali
pada rendahnya kesadaran pengguna jalan dan banyaknya kendaraan yang
melebihi kapasitas jalannya, serta kondisi pengaturan jalan raya yang
banyak memberikan celah untuk timbulnya kemacetan. Tetapi, dibalik itu
semua, ada sekelompok manusia yang menghidupi dirinya dan keluarganya
dari profesi ini.