Entri Populer

Kamis, 03 Mei 2012

Kehadiran Pak Ogah (polisi cepek)




    Pak Ogah atau Polisi Cepek dulu saya menyebutnya begitu, selalu ada di setiap persimpangan, belokkan, atau putaran jalan. Tokohnya juga bisa bermacam-macam ada segerombolan anak muda, ada bapak-bapak bahkan saya sering juga menemukan orang yang memiliki keterbatasan fisik melakukan pekerjaan ini, sambil menggunakan tongkatnya sibuk mengatur jalan, tetapi sampai saat ini saya belum menjumpai wanita yang menjalani profesi ini.

Disebut Polisi Cepek atau Pak Ogah mungkin dulu kita memberi imbalan cepek (seratus rupiah) setiap kita melewati mereka, kalau sekarang mungkin tidak cepek lagi ya, bisa gopek (lima ratus rupiah) atau seceng (seribu rupiah).
Bagi kita pengguna jalan, kehadiran mereka mungkin bisa menjadi sebuah pro dan kontra.
Bila saat itu kita tidak membutuhkan jasa mereka, tentu melihatnya menjadi sebuah gangguan, karena ulah mereka jalanan malah menjadi macet. Tetapi, bila kita sedang ingin belok atau berbalik arah, tentunya kehadiran mereka pasti dianggap membantu, seakan punya nyawa lebih dari 1, mereka dengan berani menghadang mobil yang sedang jalan dan memberi kita kesempatan untuk belok. Melihat karakter pengguna jalan di Kota Besar, jarang pengemudi yang rela memberi kesempatan untuk mobil lain menghalangi jalan mereka walaupun hanya untuk sekedar berbalik arah atau berbelok. Sehingga kehadiran Pak Ogah ini dianggap sangat membantu, dan sebagai rasa terima kasih kita pun dengan rela memberi imbalan.
Ketika terjadi suatu kemacetan, idealnya ada Polisi Lalu Lintas yang mengatur dan mengurai kemacetan tersebut, tetapi kenyataannya sering kali  yang kita temukan malahan polisi tak berseragam inilah yang mengatur jalan. Karena alasan diataslah, maka profesi ini tetap ada sampai sekarang.

Di Negara-negara lain mungkin profesi ini tidaklah bakal kita temui, tetapi mengapa di Jakarta atau kota-kota besar bisa begitu banyak ? Semua kembali pada rendahnya kesadaran pengguna jalan dan banyaknya kendaraan yang melebihi kapasitas jalannya, serta kondisi pengaturan jalan raya yang banyak memberikan celah untuk timbulnya kemacetan. Tetapi, dibalik itu semua, ada sekelompok manusia yang menghidupi dirinya dan keluarganya dari profesi ini.

Jumat, 06 April 2012

efek buruk menonton TV bagi anak-anak




“Anak-anak. Dimanapun mereka berada, bagaimanapun kondisi yang telah mengguncangnya. adalah generasi penerus. Mereka dalah wajah kita dimasa depan , mari kita jaga agar mereka tetap ceria meraih masa depan “(Republika, Jumat 14 Januari 2005, Kolom GERAI).
Pernyataan di atas merupakan kalimat yang cukup menyentuh hati kita unluk diresapi lebih dalam lagi. Persoalan anak-anak sepertinya tidak diatami oleh hanya para orang tua mereka saja, tetapi juga bagi kita yang merasa bahwa persoalan anak-anak merupakan persoalan semua pihak. Lalu kita tentu akan bertanya persoalan apakah yang mengitari mereka? Mengapa sampai perlu dibahas lebih jauh lagi?
    
    Anak-anak adalah identik dengan jiwa yang bersih, belum terkontaminasi oleh hal-hal yang mestinya belum perlu mereka alami. Terbayang oleh kita bagaimana kata “anak” mencerminkan jiwa yang lugu, polos, apa adanya. Tentunya kiia tidak ingin keadaan seperti itu berubah menjadi sebaliknya. Semestinya biarkan mereka tumbuh dalam keadaan yang benar-benar alamiah, tanpa paksaan baik yang disengaja ataupun lidak. Tapi apakah di jaman modern seperti sekarang ini kita bisa mempertahankan cara mendidik seperti itu? Tentu saja itu sulit sekali dilakukan, mengingat perkembangan alat-alat elektronik yang bcgitu pesat dan canggih. Sebut saja seperti VCD, radio, komputer, televisi dan lain lain.

    Yang disebut belakangan merupakan satu sarana yang bisa membuat seorang anak menjadi lebih cepat matang sebelum waktunya. Taruhlah seorang anak yang bcruraur 3 tahun yang masih terbata-bata bicaranya, bila mereka sering menonton televisi dengan frekuensi yang sering maka perbendaharaan kata mereka cenderung akan bertambah dengan cepat sekali. Bahkan mungkin saja tindakan yang mereka lakukan mirip dengan apa yang pernah mereka tonton.

    Yang paling sederhana adalah pengalaman sebuah keluarga, sebutlah keluarga E. Keluarga ini mempunyai dua orang anak, yang berusia 4 tahun dim 1,5 tahun. Perilaku anaknya yang berusia 4 tahun itu awalnya biasa saja, lembut, gerakannya teratur. Tetapi beberapa waktu kemudian, pcrilakunya berubah menjadi lebih agresif setelah sering menonton filmm anak-anak “ULTRAMAN”.

   Gcrakan-gerakannya menjadi lebih cepat, tangkas, bahkan nyaris tanpa sadar cenderung mau memukul siapa saja yang ada di hadapannya. Sasaran yang menurutnya paling enteng adalah adiknya sendiri, yang baru berusia 5 tahun itu. Bahkan orang tuanya merasa perlu untuk terus mengawasi adiknya agar tidak berada dekat dengan kakaknya.

    Yang diharapkan sebenarnya seorang kakak mestinya bisa menjaga adiknya, atau paling tidak mereka dapat main berdua. Ini hal yang memang perlu ditanamkan sejak kecil, tetapi itu semua kini sulit dilakukan kerena dikalahkan oleh tayangan-tayangan di televisi.
Terbayang oleh kita bahwa film kartun adalah film yang penuh dengan cerita lucu dan menarik, tetapi temyata kini tidak semuanya demikian. Banyak film kartun yang gambarnya lucu tetapi isi ceritanya ‘sebenarnya memuat juga pesan-pesan untuk orang dewasa. Ini tentunya sudah tidak cocok lagi ditonton oleh anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun. Tapi apa hendak dikata, tayangan-tayangnn tersebut diputar pada jam saat seorang anak usia balita harus makan pagi.
Dan kecenderungannya, kini anak – anak tersebut makan sambil menonton televisi, dengan alasan kuat kalau tidak demikian maka makannya akan susah. Kalau sudah demikian maka akan sulit untuk merubahnya kembali, karena anak sudah terpolakan untuk duduk manis di depan televisi dengan “remote” di tangannya, menonton televisi sambil makan. Melihat gejala demikian tentunya membuat kita miris juga. Bagaimana seorang anak tidak akan terkontaminasi, bila hal itu dilakukan terus menerus hingga menjadi suatu kebiasaan yang sudah terpolakan dalam otak seorang anak. Maka, tidak aneh apabila di surat kabar banyak bermunculan bcrita-berita tentang anak-anak yang melakukan kejahatan atau kekerasan.

“Akibat lain daripada masuknya televisi di desa adalah banyaknya anak anak yang meninggalkan pelajaran mengaji karena mereka lebih terlarik untuk menonton acara siaran anak-anak (kartun dan sebagainya). Sebagian anak-anak juga mengikuti acara-acara pertunjukan televisi sampai larut malam, yang menyebabkan mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya sebagaimana diceritakan oleh beberapa orang guru, bertambah murid-murid yang membolos, mengantuk di kelas, dan mundur pelajarannya”.
Kalau yang dimaksud adalah pengaruh positif memang tidak perlu untuk ‘dikhawatirkan, tetapi bila pengaruh itu negatif seperti yang terjadi di desa dimana Deppen Rl saat itu mengadakan penelitian, maka itulah yang menjadi masalah.
Saat ini, sudah ada stasiun televisi yang mencantumkan kode-kode tertentu di ujung layar bila suatu acara tertentu sedang ditayangkan. Kode-kode tersebut adalah : D (dewasa), SU (semua umur), dan DO (didampingi orang tua) atau BO (bimbingan orangtua). Ini bisa dikatakan sebagai suatu langkah maju dalam mengantisipasi menyebarnya informasi yang tidak pantas diserap oleh anak-anak. Dengan kode-kode tersebut, para orang tua mudah mengetahui jenis acara. mana yang cocok ditonton oleh anak-anak mereka.